Halaman

Senin, 15 Juli 2013

ATURAN DALAM KOMUNITAS UNTUK PENDIDIKAN




Peraturan adalah suatu kata yang kadang terdengar menakutkan, menggentarkan, mengikat, mengekang, dan mencengkeram kehendak dan kebebasan seseorang; sebaliknya peraturan juga menjadi kata yang menentukan, membebaskan, memberi semangat, mengatasi perlawanan, dan membuat orang semakin baik. Peraturan merupakan kaidah, norma, panduan, pedoman, dan tatanan yang wajib ada dalam suatu kelompok atau lembaga masyarakat. Peraturan menjadi identitas dari kelompok tersebut.
Peraturan memiliki tujuan yang baik. Aturan ada agar memberi manfaat serta meminimalisir tindakan negatif yang merugikan. Disadari atau tidak, peraturan merupakan sesuatu yang baru akan dirasakan manfaatnya kemudian, bukan saat itu juga. Oleh sebab itu, dalam menjalankan suatu aturan, dituntut sikap kepatuhan, kesetiaan, kepekaan, kesadaran, tanggung jawab dan kejujuran.
Sebuah peraturan sudah pasti akan menimbulkan berbagai sikap pro dan kontra. Sikap-sikap tersebut bukan saja terjadi satu kali, tetapi akan terus berlangsung dari ketika suatu peraturan baru direncanakan sampai pada penerapannya, pelanggaran, serta hukuman atas tidak pelanggaran tersebut. Hal ini menyadarkan kita, bahwa peraturan sekecil apapun itu mestilah dibuat sebaik-baiknya. Sikap yang berlawanan dengan aturan akan terus ada, tetapi tentunya harus diminimalisir.
Ada ungkapan “aturan dibuat untuk dilanggar”. Kita tidak menutup mata terhadap begitu banyaknya pelanggaran terhadap peraturan yang ada. Kecuali baru, sebuah peraturan pastilah sudah pernah dilanggar. Pelanggaran adalah hal yang sangat alamiah. Lalu jika aturan dibuat untuk dilanggar, pelanggaran dibuat untuk apa? Tujuan utama dari peraturan ialah sebagai alat untuk mengatur dan mendidik manusia. Jika tujuan ini dikesampingkan, aturan bukanlah lagi aturan.
Dalam refleksi ini, saya menemukan beberapa hal yang menurut saya penting untuk diperhatikan dalam membuat, menerapkan, dan mengevaluasi sebuah peraturan. Kiranya refleksi saya yang sederhana ini memberi sedikit nilai tambah bagi siapa saja yang membacanya. Di bawah ini saya sajikan lima poin refleksif saya tentang peraturan.

    1. Peraturan Yang Mengikat
    1. Sifat pertama yang tampak nyata dari peraturan ialah mengikat setiap individu. Orang yang telah masuk dalam sebuah lembaga tentu harus patuh terhadap aturan dalam lembaga tersebut. Pegawai di bidang pemerintahan mesti tunduk pada aturan birokrasinya. Seorang murid yang masuk ke sebuah sekolah, harus taat pada aturan yang ada di sekolah itu. Seorang satpam harus menaati aturan giliran jaga atau shift yang telah ditetapkan atasan, sama juga dengan karyawan toko yang selain menaati shift, juga harus mengikuti peraturan di tempat kerjanya. Seorang pendaki gunung yang sendirian di hutan pun masih tetap ingat dan taat pada aturan pendakian. Bahkan, seorang tukang sampah pun perlu taat pada aturan yang berlaku. Kenyataannya, peraturan selalu mengikat semua orang di mana pun mereka berada.
    2. Dalam lembaga-lembaga agama terdapat aturan yang terkadang lebih kuat ikatannya dari pada lembaga lainnya. Hal ini disebabkan karena aturan agama memberi hukuman yang terasa lebih menakutkan terhadap pelanggar aturan. Hukuman itu disebut dengan dosa. Meskipun hukuman dari dosa itu tidak tampak nyata sekarang, namun dosa memberi nuansa tersendiri bagi hati seseorang. Orang yang berdosa melanggar peraturan agama akan terus dihantui oleh rasa berdosa sepanjang hidupnya. Hal tersebut mungkin akan terasa lebih menyakitkan dari pada hukuman fisik.
    3. Intinya ialah peraturan mengikat setiap orang dan itu terkadang terasa begitu berat namun perlu. Aturan yang tidak mempunyai daya ikat tentu tak dapat lagi disebut sebagai peraturan, karena hanya akan menjadi pajangan dalam suatu kelompok atau komunitas. Aturan itu hanya sebatas tertempel di dinding dan tak lebih berharga dari lukisan murahan. Orang akan menjalankan aturan tersebut tanpa kesadaran akan tujuan baik dari dibuatnya aturan itu. Maka tentu saja pelanggaran terhadap aturan itu akan terus terjadi dan kemudian hukumannya akan menjadi tidak jelas dan tidak konsisten.
    4. Lalu, bagaimana aturan dapat mengikat? Tak dipungkiri bahwa aturan yang keras dan ketat lebih terasa daya ikatnya dibandingkan aturan yang biasa-biasa saja. Aturan yang ketat memberi dampak hukuman yang lebih besar dibandingkan aturan yang longgar. Namun, menjadi pertanyaan lanjutan ialah apakah ketat dan longgarnya peraturan yang menentukan kualitas lembaga yang menjalankan aturan tersebut? Apakah orang dapat menjadi baik dengan aturan yang sangat ketat dan mengikat? Atau sebaliknya orang dapat merasa bosan dan seakan terpenjara?
    5. Banyak komunitas manusia, lembaga, bahkan negara di dunia ini yang masih memiliki aturan dengan sifat yang sangat mengikat, sehingga pelaku pelanggar aturan akan ditindak dengan sangat tegas dan terkadang berlebihan. Hal ini tentunya menimbulkan pelbagai pelawanan yang dialatarbelakangi oleh semangat ingin bebas dari kukungan dan tatanan yang mengikat. Misalnya saja berbagai perlawanan terhadap pemerintah yang diktator di Mesir, Lybia, dan negara-negara lainnya yang harus dibayar dengan korban ribuan nyawa. Selain itu disekitar kita pun masih terdapat banyak pelanggar aturan yang kadang melakukannya bukan karena kebutuhan, keterpaksaan atau pelanggaran semata tetapi lebih dari itu merupakan bentuk protes terhadap aturan yang ada.
    6. Berbagai hal di atas membuat kita sadar bahwa aturan yang mengikat selain memberi dampak yang baik ternyata juga membawa akibat buruk. Maka aturan yang memiliki daya ikat tidak ditentukan semata oleh si pembuat aturan, apakah ketat atau longgar, tetapi ditentukan oleh setiap orang berdasarkan kesepakatan bersama. Aturan barulah mengikat jika aturan itu diterima dengan baik dan dijalankan dengan sadar dan penuh tanggung jawab. Peraturan yang dilaksanakan itu dilandasi dengan rasa ingin menjadi yang baik, bahkan yang terbaik. Aturan itu dipercaya dapat menentukan kualitas diri, bukan sekedar dijalankan tanpa tujuan.